Souvenir Perkawinan

Dari Adenium Taiwan Hingga Kaktus Lembang

Gambar :



Muqiet Efladinur (28) memulai bisnis suvenirnya tanpa kalkulasi rumit di atas kertas. Untuk pernikahannya pada awal Mei 2008, ia menginginkan suvenir yang berbeda. Sebagai aktivis pencinta alam di kampusnya, Universitas Indonesia, yang terbayang di kepalanya adalah tanaman. Sayangnya, penjual suvenir tanaman belum ada ketika itu, bahkan di ibu kota Jakarta. Pencarian di internet ketika itu belum dapat membantu.
Lelaki kelahiran Jakarta, 27 Maret 1982, ini lantas memutar otak. Diajaknya seorang teman yang paham dunia tanaman untuk merancang sendiri suvenirnya. Kerja kerasnya berbuah. Pernikahan berlangsung lancar dan suvenir habis dibawa pulang tamu. Bukan itu saja. Muqiet mendapat bonus. Banyak tamu memuji pilihan suvenir tersebut sehingga memunculkan gagasan untuk mencoba berbisnis suvenir hijau.
Sesudah tanya ke sana kemari, Muqiet memulai usahanya dengan label Green4S. Tanaman yang ia pilih adalah adenium. Alasannya, tanaman ini tergolong paling populer, bernilai ekonomis tinggi, dan mudah perawatannya karena habitat aslinya di gurun. Bukan sembarang adenium yang ia pilih. Bijinya diimpor dari Taiwan. ”Kualitas adenium lokal masih buruk,” katanya beralasan.
Harga biji adenium Taiwan tergolong mahal. Satu biji dihargai Rp 3.000 hingga Rp 5.000, sementara satu biji lokal bisa diperoleh dengan harga Rp 500. Biji-biji itulah yang kemudian dijadikan bibit dalam proses selama 2-3 bulan. Ada empat pekerja yang membantu Muqiet menyediakan stok siap kirim hingga 5.000 bibit per bulannya.
Pembibitan bukan proses yang mudah. Persentase kegagalan sangat tinggi. Sudah melegakan jika dari 11.000 biji, ada 4.000 bibit yang berhasil tumbuh. Ini yang membuat Muqiet kadang tak berani mengambil uang muka. ”Bisnis ini bukan bisnis pada umumnya. Banyak hal tergantung cuaca. Ini bisnis Tuhan,” ujar pria yang berkantor di rumahnya di Jakarta Timur ini.
Terwadahi pot tembikar yang unik, bibit adenium ia bungkus rapi dalam kotak mika. Tali akar pohon dan kertas daur ulang berisi nama pengantin atau pesan-pesan khusus digunakan untuk mempercantik suvenir tersebut. Belakangan, Muqiet juga memasarkan suvenir biji dalam botol kaca. Satu botol berisi 3-5 biji adenium dengan tutup eksklusif dari pohon oak.
Suvenir bibit lebih mahal dari biji. Untuk pemesanan 800, misalnya, akan diperoleh harga Rp 9.900 per unit untuk suvenir bibit dan Rp 6.515 untuk suvenir biji. Pengiriman bisa dilakukan lewat jasa pengantar atau diambil sendiri oleh sang pemesan. Kini, setelah sukses menjual suvenirnya ke berbagai wilayah di Indonesia, Muqiet membidik pasar luar negeri.
**
Jika Muqiet mendatangkan biji dari Taiwan, Erik Arianto (23), pemilik merek Erik Kaktus, memilih menggandeng para petani kaktus di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Stok hingga 10.000 pot per bulannya dapat ia peroleh dari delapan petani. Selain suvenir, yang baru ditekuni setahun belakangan, Erik juga melayani penjualan tanaman hias.
Erik menawarkan beragam paket suvenir dalam kisaran harga Rp 2.750 hingga Rp 7.750 dengan pemesanan minimal 100 pot. Secara sadar, ia berusaha keras menekan harga suvenir hijaunya. ”Harga ini sekaligus menjadi alternatif bagi mereka yang ingin suvenir hijau, tapi dana yang dimiliki terbatas. Jangan lagi ada kesan suvenir hijau itu mahal,” ucapnya.
Pembibitan hingga pengemasan memakan waktu antara 3-6 bulan. Kaktus atau sekulen diletakkan di pot plastik atau tembikar, tergantung harga yang disepakati. Untuk mempercantik tampilan, di sekitar tanaman ditebar batu zeolit warna-warni. Rangkaian bambu ditambahkan sebagai cantelan untuk mempermudah tamu membawa suvenir mereka.
Ketika merintis usaha, Erik memasarkan produknya secara konvensional dari pintu ke pintu. Kini, ia lebih mengandalkan promosi online lewat internet. Pria berkacamata ini membuat situs web dan masuk ke jejaring sosial, seperti Facebook. Bahkan, blog pribadinya pun ia korbankan untuk bisnis ini. ”Yang gencar saya suarakan dalam promosi adalah isu lingkungan. Suvenir ini bukan sekadar perkara oleh-oleh, melainkan juga soal kepedulian terhadap penghijauan. Ini yang jadi pembeda kami dengan pedagang suvenir lainnya,” tuturnya.
Muqiet juga mengandalkan promosi online. Tidak ada selebaran yang dipakukan di batang pohon atau pagar tembok. Bahkan, banyak transaksi dengan konsumen juga ia lakukan secara online tanpa pernah bertatap muka. ”Terbukti, isu lingkungan juga bisa dijadikan ladang penghasilan. Tapi, ini bukan semata-mata soal mengeruk untung. Idealisme juga tetap dipertahankan,” ucapnya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***