Souvenir Hijau (green souvenir)

Makin Hijau Makin Bermakna


Gambar :
 www.souvenirtanaman.com

http://souvenirtanaman.indonetwork.co.id/prod
http://souvenirerikkaktus.blogspot.com/
http://souvenirtanaman.wordpress.com/

Semua yang berlabel hijau, yang berbau ramah lingkungan, tengah laris manis diburu orang. Tak heran, produsen alat-alat elektronik ramai-ramai menempelkan label hijau pada produk mereka. Sepeda, sebagai alat transportasi label hijau, juga mulai dilirik para penghuni kota. Untuk berbelanja, digunakanlah tas kain sebagai pengganti plastik. Seolah tak mau ketinggalan dengan tren ini, urusan pernikahan pun kini mulai ikut-ikutan mencantumkan label hijau.
Tak ada batasan resmi bagaimana persisnya pernikahan berlabel hijau itu. Yang selama ini mulai dipraktikkan orang adalah penggarapan desain undangan dan suvenir. Undangan konvensional dari kertas berbungkus plastik dan suvenir dari bahan-bahan yang sejenis mulai dihindari. Pengantin memilih bahan-bahan ramah lingkungan seperti daun kering, kertas daur ulang, atau tali akar pohon.

Dua tahun belakangan muncul tren baru. Tidak cukup bagian-bagian dari tanaman yang digunakan sebagai suvenir, tetapi tanaman itu sendiri. Di dunia maya, pernikahan label hijau semacam ini mulai menjadi topik hangat di banyak forum. Karena memang belum lama menjadi tren, banyak orang bertanya-tanya tentang pernikahan model ini. Situs web penyedia layanan suvenir model ini juga masih jarang ditemukan.
”Minggu lalu aku pergi ke pernikahan teman. Suvenirnya kaktus. Lucu banget deh. Ada yang tahu gak di mana aku bisa mendapatkan suvenir seperti itu? Buat referensi aja. Jadi mau married juga nih,” tulis Mela (25) di forum sebuah situs web pernikahan yang lantas menuai puluhan tanggapan.
Macam-macam memang alasan orang memilih tanaman sebagai suvenir pernikahan mereka, barangkali karena melihatnya lucu atau sekadar ingin sesuatu yang berbeda. Mereka yang lebih idealis meyakini suvenir tanaman sebagai sebentuk keterlibatan pada usaha pelestarian bumi, entah seberapa kecil sumbangsih itu.
**
Belum banyak pasangan pengantin memberikan suvenir tanaman. Defa Deleunara (26) dan suaminya, Mareta Mujiburrachman (26), adalah salah seorang dari yang sedikit itu. Dalam resepsi pernikahan Juli tahun 2009 lalu, mereka membagikan 600 botol suvenir masing-masing berisi lima biji adenium. ”Niatnya sederhana saja. Kami ingin memberikan sesuatu bagi orang lain yang bermanfaat dunia akhirat,” kata Defa, anak kedua dari empat bersaudara yang tumbuh dan besar di Bekasi.
Awalnya, Defa memesan suvenir bentuk bibit adenium. Karena sudah dalam bentuk tanaman, dia rasa suvenir ini bakal lebih mudah diterima oleh orang tua dan para tamu. Sebulan sebelum hari H, stok bibit habis. Defa akhirnya ”berjudi” dengan menerima tawaran suvenir biji sebagai pengganti.
Oleh-oleh bentuk biji tanaman tentu bukan hal yang lazim. Defa mesti berjuang keras meyakinkan orang-orang di sekelilingnya, terutama orang tua bahwa pilihannya ini tak salah. ”Orang tua takut kalau suvenirnya nanti malu-maluin mereka. Biasalah, orang tua,” ujar Defa.
Bukan hanya keberatan orang tua yang harus dihadapi Defa. Harga juga membawa persoalan tersendiri. Meski bukan barang mewah, suvenir tanaman atau biji tanaman juga tidak bisa digolongkan barang murah. Jika suvenir kebanyakan seperti kipas, gantungan kunci, atau kotak kartu nama masih bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 2.000, harga per satuan suvenir tanaman atau bijinya bisa tiga hingga enam kali lipatnya. Bahkan yang lebih banyak dari itu juga ada.
Harga suvenir biji adenium yang dipesan Defa Rp 9.750 per botol. Artinya, uang tak kurang dari Rp 6 juta mesti tersedia untuk suvenir. Jumlah yang cukup besar. Namun karena amat mengingininya, Defa bersikeras. Sebagian dari gaji bulanan disisihkannya khusus untuk ini.
Memberikan biji, bukannya tanaman hidup, membuat waswas juga. Jika banyak yang tak tumbuh, bakal terbukti kekhawatiran orang tua. Ketakutan semacam ini dirasakan Defa selama tiga bulan sejak resepsi. Dia baru merasa lega ketika salah seorang tetangga mengabarkan biji adeniumnya tumbuh. Setelah itu, satu per satu temannya melaporkan hal serupa.
Bukan main leganya Defa. Setiap kali bertemu para teman, diterimanya pujian atas pilihan suvenir hijau yang tak lazim itu. Salah seorang teman bahkan dengan bangga memasang foto suvenir itu sebagai profil di Facebooknya. ”Rasanya bahagia sekali. Biji-biji itu tumbuh juga akhirnya. Selama adenium tumbuh dan berkembang, selama itu pula perkawinan saya akan terus dikenang kerabat dan teman-teman,” ucapnya.
**
Kecenderungan masyarakat menyenangi barang ramah lingkungan ditangkap para pelaku bisnis dan penjual tanaman hias. Meski belum meriah, bisnis suvenir hijau mulai dilirik. Tanaman yang biasa dijadikan suvenir di antaranya kaktus, sekulen, adenium, dan anturium. Jika kaktus dan sekulen bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 5.000 per pot, harga anturium bisa melambung di atas Rp 20.000.
Erik Arianto (23), pemilik merek ”Erik Kaktus” adalah salah seorang penyedia layanan suvenir tanaman mini yang baru beroperasi setahun belakangan. Sebelumnya, sejak 2006, Erik berkonsentrasi pada bisnis tanaman hias saja, seperti kaktus, sekulen, dan sansivera. ”Untuk suvenir, rata-rata per bulannya 4.000 pot terjual. Ini jumlah yang besar untuk produk di tahun pertama,” ucap mahasiswa Jurusan Biologi MIPA Universitas Padjadjaran Bandung yang memiliki kebun pembenihan di Maribaya, Lembang tersebut.
Muqiet Efadlinur (28 ), dengan label ”Green4S”, memilih menawarkan suvenir adenium sejak 2008. Per bulan, 3.000 pot dapat ia kirim ke berbagai daerah di Indonesia. ”Jika dulu lebih banyak perusahaan yang membeli suvenir ini, setahun belakangan justru lebih banyak keluarga dan perorangan yang memesan. Sebagian besar untuk pernikahan,” ujarnya.
Pemerhati lingkungan Sobirin Supardiyono menilai positif tren pernikahan hijau ini. Gerakan kepedulian secara personal justru mampu menghasilkan pengaruh yang luas. ”Selama ini program penghijauan kerap jatuh sebagai projek belaka. Hasilnya, kita sama-sama tahu. Tak ada perubahan yang berarti. Tren suvenir hijau ini bisa menyentuh kesadaran masyarakat karena pendekatannya yang personal. Orang diajak terlibat,” tuturnya.
Ada idealisasi dan kepedulian dalam sepaket suvenir hijau yang diberikan saat resepsi. Di hari pernikahan, kita membagikan kebahagiaan bukan saja kepada para saudara dan sahabat, tetapi juga pada bumi yang selama ini telah dengan sabar memelihara kita. Satu tanaman hidup sangat berarti untuk membuat bumi bisa bertahan.
”Hanya saja, akan lebih baik lagi kalau suvernirnya dalam bentuk tanaman keras. Suvenir hijau untuk perkawinan atau tiap hajatan jauh lebih bermakna daripada bentuk suvenir konvensional seperti selama ini,” tutur Sobirin. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=127997

Souvenir Perkawinan

Dari Adenium Taiwan Hingga Kaktus Lembang

Gambar :



Muqiet Efladinur (28) memulai bisnis suvenirnya tanpa kalkulasi rumit di atas kertas. Untuk pernikahannya pada awal Mei 2008, ia menginginkan suvenir yang berbeda. Sebagai aktivis pencinta alam di kampusnya, Universitas Indonesia, yang terbayang di kepalanya adalah tanaman. Sayangnya, penjual suvenir tanaman belum ada ketika itu, bahkan di ibu kota Jakarta. Pencarian di internet ketika itu belum dapat membantu.
Lelaki kelahiran Jakarta, 27 Maret 1982, ini lantas memutar otak. Diajaknya seorang teman yang paham dunia tanaman untuk merancang sendiri suvenirnya. Kerja kerasnya berbuah. Pernikahan berlangsung lancar dan suvenir habis dibawa pulang tamu. Bukan itu saja. Muqiet mendapat bonus. Banyak tamu memuji pilihan suvenir tersebut sehingga memunculkan gagasan untuk mencoba berbisnis suvenir hijau.
Sesudah tanya ke sana kemari, Muqiet memulai usahanya dengan label Green4S. Tanaman yang ia pilih adalah adenium. Alasannya, tanaman ini tergolong paling populer, bernilai ekonomis tinggi, dan mudah perawatannya karena habitat aslinya di gurun. Bukan sembarang adenium yang ia pilih. Bijinya diimpor dari Taiwan. ”Kualitas adenium lokal masih buruk,” katanya beralasan.
Harga biji adenium Taiwan tergolong mahal. Satu biji dihargai Rp 3.000 hingga Rp 5.000, sementara satu biji lokal bisa diperoleh dengan harga Rp 500. Biji-biji itulah yang kemudian dijadikan bibit dalam proses selama 2-3 bulan. Ada empat pekerja yang membantu Muqiet menyediakan stok siap kirim hingga 5.000 bibit per bulannya.
Pembibitan bukan proses yang mudah. Persentase kegagalan sangat tinggi. Sudah melegakan jika dari 11.000 biji, ada 4.000 bibit yang berhasil tumbuh. Ini yang membuat Muqiet kadang tak berani mengambil uang muka. ”Bisnis ini bukan bisnis pada umumnya. Banyak hal tergantung cuaca. Ini bisnis Tuhan,” ujar pria yang berkantor di rumahnya di Jakarta Timur ini.
Terwadahi pot tembikar yang unik, bibit adenium ia bungkus rapi dalam kotak mika. Tali akar pohon dan kertas daur ulang berisi nama pengantin atau pesan-pesan khusus digunakan untuk mempercantik suvenir tersebut. Belakangan, Muqiet juga memasarkan suvenir biji dalam botol kaca. Satu botol berisi 3-5 biji adenium dengan tutup eksklusif dari pohon oak.
Suvenir bibit lebih mahal dari biji. Untuk pemesanan 800, misalnya, akan diperoleh harga Rp 9.900 per unit untuk suvenir bibit dan Rp 6.515 untuk suvenir biji. Pengiriman bisa dilakukan lewat jasa pengantar atau diambil sendiri oleh sang pemesan. Kini, setelah sukses menjual suvenirnya ke berbagai wilayah di Indonesia, Muqiet membidik pasar luar negeri.
**
Jika Muqiet mendatangkan biji dari Taiwan, Erik Arianto (23), pemilik merek Erik Kaktus, memilih menggandeng para petani kaktus di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Stok hingga 10.000 pot per bulannya dapat ia peroleh dari delapan petani. Selain suvenir, yang baru ditekuni setahun belakangan, Erik juga melayani penjualan tanaman hias.
Erik menawarkan beragam paket suvenir dalam kisaran harga Rp 2.750 hingga Rp 7.750 dengan pemesanan minimal 100 pot. Secara sadar, ia berusaha keras menekan harga suvenir hijaunya. ”Harga ini sekaligus menjadi alternatif bagi mereka yang ingin suvenir hijau, tapi dana yang dimiliki terbatas. Jangan lagi ada kesan suvenir hijau itu mahal,” ucapnya.
Pembibitan hingga pengemasan memakan waktu antara 3-6 bulan. Kaktus atau sekulen diletakkan di pot plastik atau tembikar, tergantung harga yang disepakati. Untuk mempercantik tampilan, di sekitar tanaman ditebar batu zeolit warna-warni. Rangkaian bambu ditambahkan sebagai cantelan untuk mempermudah tamu membawa suvenir mereka.
Ketika merintis usaha, Erik memasarkan produknya secara konvensional dari pintu ke pintu. Kini, ia lebih mengandalkan promosi online lewat internet. Pria berkacamata ini membuat situs web dan masuk ke jejaring sosial, seperti Facebook. Bahkan, blog pribadinya pun ia korbankan untuk bisnis ini. ”Yang gencar saya suarakan dalam promosi adalah isu lingkungan. Suvenir ini bukan sekadar perkara oleh-oleh, melainkan juga soal kepedulian terhadap penghijauan. Ini yang jadi pembeda kami dengan pedagang suvenir lainnya,” tuturnya.
Muqiet juga mengandalkan promosi online. Tidak ada selebaran yang dipakukan di batang pohon atau pagar tembok. Bahkan, banyak transaksi dengan konsumen juga ia lakukan secara online tanpa pernah bertatap muka. ”Terbukti, isu lingkungan juga bisa dijadikan ladang penghasilan. Tapi, ini bukan semata-mata soal mengeruk untung. Idealisme juga tetap dipertahankan,” ucapnya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***